Kamis, 04 Agustus 2011

Ittihad

Dilihat dari sudut etimologi, ittihād (al-Ittihād) berarti persatuan,
Dalam kamus sufisme berarti persatuan antara manusia dengan Tuhan.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihād
kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan
yang dicintai telah menjadi satu.

Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat
tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang
telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,
terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh
telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-
ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat.

Ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat
menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh
kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya.
Menurut Nicolson, dalam faham ittihād hilangnya kesadaran adalah
permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan
adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang
disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after
passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’)
yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian
Tuhan kepada seorang sufi.

Sekarang kalau memang fana yang merupakan prasyarat untuk
mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan
datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan
kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana
dikemukakan di atas.

Dalam Ittihād, kata A. R. al-Badawi seperti dikutip oleh Harun
Nasution, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua
wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan
hanya satu wujud, maka dalam ittihād bisa terjadi pertukaran peranan antara
sufi dengan Tuhan.

Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fī
al-tauhīd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan
tanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang peristiwa
mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan :
Pada suatu hari aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia
berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku
Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi
jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang
kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata : Telah kami lihat
Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana.

Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses
terjadinya ittihād. Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam
ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada
sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād
ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya

Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah
makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah
aku dan aku adalah Engkau(Harun Nasution, 1973: 85).

Selanjutnya Abu Yazid berkata : "Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku"

Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu
seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian
maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai
gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan,
karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu
Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi
Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid
menjelaskan : "Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri
dalam keadaan fana "
.
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya
sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid
sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan
.ittihād


Tasawuf atau sufisme, sebagaimana halnya dengan mistisisme
diluar agama Islam, mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirad Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di
dalamnya tasawuf, ialah kesadaran akan adanya kemonikasi dan dialog
antara ruh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesaaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil
bentuk ittihād (Harun Nasution, 1973: 56).
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf, demikian kesimpulan Abdul al-Hakim Hassan, adalah sampai kesadaran bersatu dengan Allah (Abdul al-Hakim Hassan, 1954: 19).

Menurut Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah kesadaran sejatinya manusia
yang mebngarahkan jiwa yang benar untuk selalu berjuang hingga ia dapat
merasakan perjumpaan dengan wujud mutlak (Allah).

Dalam konteks ini semua aktivitas ketasawufan, langsung atau
tidak, bekaitan dengan penghayatan dan ma’rifah pada Allah. Hal ini bukan
hasil pengamatan panca indera atau penalaran rasio, tetapi merupakan
penghayatan spiritual atau pengalaman yang bersifat mistik (mystical
experience). Pengalaman kejiwaan seperti ini dalam dunia tasawuf disebut
fana’. Terjadinya kondisi fana’ kerena begitu mendalamnya rasacinta yang
termanifestasi dalam aktivitas sufi sehari-hari. Dalam mabuk cinta itu, sang
sufi akan mengalami penghayatan wahdat al-syuhud, apa saja yang dipandang tampak sebagai Tuhan. Al-Syibli, misalnya, pernah menyatakan: “Aku tak pernah melihat sesuatu kecuali Tuhan”

Aktivitas yang mutlak dilakukan sang sufi adalah zikir. Melalui
konsentrasi dalam zikir, yang oleh sufi disebut dengan menenggelamkan
hati dalam zikir kepada Allah, akan menghantarkannya pada pengalaman
dan prenghayatan fana’ secara total pada Allah. Fana’ adalah proses
beralihnya kesadaran dari alam inderawi atau alam lahir kealam kejiwaan
atau alam batin. Oleh kerena itu kondisi fana’ merupakan bagian yang
esensial dalam tasawuf.

Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad aau menyatu
dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut:
Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat
peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah
memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah
mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap
kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur
menyatu dalam wujud Allah.

Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad
seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akan
alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan
terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam
tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung
apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan
ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.
Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al-
fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah
terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya.
Salam satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam
kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai
berikut:

"Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka,
diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka
tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka
sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata
(kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada
mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum
kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya
dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia".
(Surat Yusuf/12: 31).

Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini
baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk
lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati
terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak
mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhlik
sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf
yang ganteng mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari
mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona
melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-
kata.
Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas
patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties
of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman
mistis; dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan
mampu menghindari dari perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan.

1. Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan
bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; tidak ada uraian
manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya dalam kata-
kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara
langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang
lain.

2. Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan,
bagi orang yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi
berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan
tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek
yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan
dab pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa
dirasakan.

3. Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam
waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang
jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum
kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau
paling lama satu atau dua jam.

4. Kefasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa
tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti
melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau
menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku
panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang
ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk
sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan
dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.

Dengan mengikuti keterangan jaman diatas , maka situasi ittikad
Abu Yazid harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang
sufi. Sebagai pengalaman kejiwaan yang berdeminsi spiritual tentu sangat
bersifat personal dan unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri: Sangat sulit,
bahkan mustahil di ungkapkan dengan kata-kata; menimbulkan pencerahan
dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu,
hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya kepasifan total yang di
awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri
dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar biasa.





Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks
kejiwaan, ia memiliki beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh
pengkajian tasawuf. Pro kontra faham ittihad harus dilihat dari sudut ini.
Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:

1. tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap
menerimanya.
2. memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan
hanya dengan nalar intelik.
3. pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya
berlangsung dua jam.
4. terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran
terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.

Pengalaman misik tertinggi memeng mengahasilkan situasi
kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi’, ekstase itu
sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman
kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman
yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir
al-sya’n, yaitu kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syahadath
pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka
menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia yang maha ada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar